Kaisar Pertama Romawi Kuno

Kaisar Pertama Romawi Kuno

Calon penerusnya selalu meninggal dengan misterius

Tanpa memiliki seorang putra, Augustus menghabiskan banyak waktu dan energi untuk mencoba mempersiapkan seorang penerusnya. Dia memusatkan perhatian awalnya pada keponakannya Marcellus, yang dinikahkan dengan Julia pada 25 SM. Tetapi Marcellus jatuh sakit dan meninggal beberapa tahun kemudian sekitar usia 21 tahun.

Selanjutnya, Augustus menyiapkan Agrippa, teman dan jendralnya, yang, meskipun 25 tahun lebih tua dari Julia, mereka kemudian memiliki tiga putra dan dua putri. Augustus mengadopsi dan membantu membesarkan dua anak lelaki yang lebih tua, Gayus dan Lucius.

Tetapi, lagi-lagi kematian menghampiri mereka. Yang pertama meninggal pada usia 23 setelah terluka di Armenia dan yang kedua meninggal pada usia 19 setelah tertular penyakit yang tidak diketahui di Gaul. Sedangkan putra ketiga Julia dan Agrippa, konon, penuh amarah dan akhirnya dikirim ke pengasingan.

Setelah kematian Agrippa, Augustus memaksa anak tirinya Tiberius untuk menceraikan istri tercintanya dan menikahi Julia, tetapi mereka hanya memiliki satu anak yang meninggal saat masih bayi.

Itulah fakta-fakta kehidupan sang kaisar pertama Romawi, Octavianus Caesar Augustus.

Baca Juga: 8 Fakta Sergey Kirov, Tokoh Besar Uni Soviet yang Dibunuh

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Konstantinus Agung dan Kekristenan

Konstantinus Agung (306–337 M) adalah kaisar yang paling dikenal karena mengadopsi Kekristenan sebagai agama resmi Kekaisaran Romawi. Pada masa pemerintahannya, Konstantinus menyatukan kembali kekaisaran yang sebelumnya terpecah dan mendirikan ibu kota baru di Bizantium, yang kemudian dikenal sebagai Konstantinopel. Keputusan Konstantinus untuk mendukung Kekristenan mengubah wajah kekaisaran dan agama dunia barat selamanya.

Struktur Kekuasaan Kaisar

Kaisar Romawi memiliki kekuasaan mutlak dalam berbagai aspek pemerintahan. Gelar resmi yang digunakan oleh seorang kaisar bervariasi sepanjang sejarah Romawi, dan sering mencerminkan kompleksitas kekuasaan yang dimilikinya:

Kaisar juga mengendalikan Senat, meskipun secara teknis merupakan badan legislatif tertinggi, kekuasaan senat secara bertahap berkurang di bawah kaisar.

Hadrian (117-138 M)

Hadrian atau Adrian memiliki nama lengkap Caesar Traianus Hadrianus Augustus. Sedangkan nama aslinya adalah Publius Aelius Hadrianus.

Hadrian adalah sepupu dan suksesor Trajan yang mempersatukan dan mengonsolidasikan kekaisaran Romawi yang luas. Dia adalah pengagum peradaban Yunani.

Kaisar Paling Baik Hati dari Romawi Kuno:

Kaisar Romawi paling baik hati pertama ini bernama lengkap Nerva Caesar Augustus dan nama aslinya adalah Marcus Cocceius Nerva. Rezim Nerva dikenal dengan sistem alimenta, yakni perwalian untuk memelihara anak-anak miskin yang ada di Italia. Akan tetapi, kebijakan ini juga kemungkinan adalah karya dari Trajan.

Demi mengamankan suksesi, Nerva mengadopsi dan menjadikan Marcus Ulpius Trajanus (Trajan) pada 97 M sebagai gubernur provinsi-provinsi yang ada di Jerman. Trajan pun kemudian meneruskan pemerintahan setelah kematian Nerva.

Marcus Ulpius Trajanus adalah nama asli Trajan. Sedangkan nama lengkap latinnya adalah Caesar Divi Nervae Filius Nerva Traianys Optimus Augustus. Dirinya juga dikenal sebagai Caesar Nerva Traianus.

Pada masa pemerintahannya, Trajan mengembangkan wilayah Kekaisaran Romawi ke bagian timur, utamanya Dacia, Arab, Armenia, dan Mesopotamia. Trajan juga melakukan pembangunan secara luas dan meningkatkan kesejahteraan sosial.

Octavianus dan Triumviratus II

Terbunuhnya Gaius Iulius Caesar menimbulkan kekacauan politik dan sosial di Roma. Tanpa kepemimpinannya selaku diktator, pemerintahan Roma dijalankan oleh sahabat sekaligus rekan kerjanya, Marcus Antonius. Tak lama kemudian, Octavius, anak angkat Gaius Iulius Caesar berdasarkan surat wasiatnya, tiba di Roma. Octavianus (para sejarawan menyamakan Octavius dengan Octavianus berdasarkan tata nama orang Romawi) berusaha merapat pada kubu pro mendiang Caesar. Pada tahun 43 SM, bersama Marcus Antonius dan Marcus Aemilius Lepidus, sahabat karib mendiang,[52] ia membentuk persekutuan Triumviratus II melalui undang-undang. Persekutuan ini direncanakan berlaku sampai lima tahun. Saat Triumviratus II terbentuk, 130–300 orang senator dieksekusi mati, dan harta kekayaan mereka disita, karena diputus bersalah telah mendukung komplotan Liberator.[53]

Pada tahun 42 SM, senatus memasyhurkan kedewataan Gaius Iulius Caesar dengan gelar Divus Iulius (Dewata Iulius), sehingga Octavianus selaku ahli warisnya pun disebut Divi Filius (Putra Dewata).[54] Pada tahun yang sama Octavianus dan Marcus Antonius berhasil mengalahkan para pembunuh Gaius Iulius Caesar sekaligus pemimpin komplotan Liberator, yakni Marcus Iunius Brutus dan Gaius Cassius Longinus, dalam Pertempuran Filipi. Triumviratus II terkenal dengan proscriptio, maklumat pelaknatan sebagai musuh negara, yang diterbitkannya bagi banyak senator dan tokoh-tokoh kaum eques. Selepas pemberontakan adik Marcus Antonius, Lucius Antonius, lebih dari 300 orang senator dan tokoh kaum eques yang terlibat dieksekusi mati pada hari Idus Martiae, kendati Lucius Antonius sendiri tidak dieksekusi mati.[55] Triumviratus II mengeluarkan maklumat pelaknatan terhadap sejumlah tokoh penting, termasuk Marcus Tullius Cicero, orang yang dibenci Marcus Antonius;[56] Quintus Tullius Cicero, adik Marcus Tullius Cicero; dan Lucius Iulius Caesar, saudara sepupu sekaligus sahabat Gaius Iulius Caesar yang mendukungMarcus Tullius Cicero. Kendati demikian, Lucius Iulius Caesar akhirnya diberi pengampunan, mungkin atas permintaan kakaknya yang bernama Iulia, ibu dari Marcus Antonius.[57]

Triumviratus II membagi-bagi wilayah kekuasaan Republik Romawi menjadi daerah-daerah kekuasaan ketiga anggotanya. Marcus Aemilius Lepidus mendapatkan Provinsi Afrika, Marcus Antonius mendapatkan provinsi-provinsi di sebelah timur, sementara Octavianus tetap tinggal di Italia serta memerintah atas Hispania dan Galia. Masa ikatan persekutuan Triumvirat II berakhir pada tahun 38 BC tetapi diperbaharui untuk lima tahun lagi. Kendati demikian, sudah hubungan baik antara Octavianus dan Marcus Antonius sudah retak, dan Marcus Aemilius Lepidus dipaksa mengundurkan diri pada tahun 36 SM setelah mengkhianati Octavianus di Sisilia. Pada akhir masa ikatan persekutuan, Marcus Antonius tinggal di Mesir, yang kala itu merupakan sebuah kerajaan merdeka lagi makmur di bawah pemerintahan kekasih Marcus Antonius, Ratu Kleopatra VII. Hubungan asmara Marcus Antonius dan Ratu Kleopatra dipandang sebagai pengkhianatan terhadap negara, karena Kelopatra adalah kepala negara asing. Selain itu, Marcus Antonius dinilai kelewat berfoya-foya dan terlampau keyunani-yunanian bagi seorang pejabat negara Republik Romawi.[58] Setelah peristiwa Penghibahan di Aleksandria, yang membuat Ratu Kleopatra mendapatkan gelar "Ratu Segala Raja", dan anak-anak Marcus Antonius dari Kleopatra mendapatkan gelar penguasa atas daerah-daerah di sebelah timur yang baru saja ditaklukkan, pecah perang antara Octavianus dan Marcus Antonius. Octavianus menghancurkan kekuatan tempur Mesir dalam Pertempuran Aktion pada tahun 31 SM. Marcus Antonius dan Kleopatra mati bunuh diri. Mesir ditundukkan di bawah kedaulatan Romawi, dan suatu zaman baru pun bermula bagi bangsa Romawi.

Gaius Marius dan Lucius Cornelius Sulla

Gaius Marius, seorang homo novus, yang belum lama terjun ke bidang politik berkat sokongan keluarga Metellus, tampil menjadi salah seorang tokoh pemimpin Republik Romawi, ketika terpilih menjadi consul untuk pertama kalinya pada tahun 107 SM, setelah mengemukakan bahwa mantan induk semangnya, Quintus Caecilius Metellus Numidicus, tidak mampu mengalahkan dan meringkus Iugurtha, Raja Numidia. Sesudah terpilih, Gaius Marius pun mulai melaksanakan usaha-usaha reformasi di bidang militer. Ketika membentuk pasukan dalam rangka memerangi Iugurtha, ia merekrut para warga termiskin (suatu inovasi), dan banyak pula warga tak berlahan yang diterima menjadi prajurit. Kebijakan semacam ini memupuk kesetiaan bala tentara pada senapati. Seumur hidupnya, Gaius Marius terpilih menjadi consul sebanyak tujuh kali. Belum pernah ada orang sebelum Gaius Marius yang terpilih kembali menjadi consul sampai tujuh kali.

Ketika itulah Gaius Marius mulai bertikai dengan Lucius Cornelius Sulla. Gaius Marius, yang hendak menangkap Iugurtha, meminta Bocchus, menantu Iugurtha sendiri, untuk menyerahkan Iugurtha kepadanya. Ketika niat Gaius Marius tidak tercapai, Lucius Cornelius Sulla, yang kala itu adalah salah seorang perwira bawahan Gaius Marius, nekat menerjang bahaya demi dapat bertatap muka secara langsung Bocchus dan berhasil membujuknya untuk untuk menyerahkan Iugurtha. Keberhasilan Lucius Cornelius Sulla sangat menggusarkan Gaius Marius karena sekian banyak seterunya terus-menerus memanas-manasi Lucius Cornelius Sulla untuk menentangnya. Kendati demikian, Gaius Marius tetap saja terpilih menjadi consul sampai lima kali berturut-turut dari tahun 104 sampai dengan tahun 100 SM, karena Roma masih membutuhkan kehadiran seorang pemimpin militer untuk menundukkan orang Kimbri dan orang Teuton, yang mengancam ketenteraman Roma.

Sesudah Gaius Marius pensiun, Roma untuk beberapa waktu lamanya dapat menikmati masa damai. Pada kurun waktu inilah para socius (sekutu) di Italia meminta pengakuan dan hak suara selaku rakyat Republik Romawi. Tokoh pembaharu, Marcus Livius Drusus, mendukung pengabulan permintaan mereka melalui undang-undang tetapi ia tewas dibunuh orang, dan para socius bangkit memberontak melawan Roma dalam Perang Sekutu. Ketika kedua consul gugur, Gaius Marius diangkat menjadi panglima perang bersama-sama dengan Lucius Iulius Caesar dan Lucius Cornelius Sulla.[47]

Seusai Perang Sekutu, Gaius Marius dan Lucius Cornelius Sulla menjadi tokoh-tokoh militer terkemuka di Roma, dan para pendukung mereka saling berseteru memperebutkan kekuasaan. Pada tahun 88 SM, Lucius Cornelius Sulla terpilih menjadi consul untuk pertama kalinya, dan tugas perdananya adalah mengalahkan Mitridates VI dari Pontus, yang berniat menguasai bagian timur dari wilayah kekuasaan bangsa Romawi. Kendati demikian, para pendukung Gaius Marius berhasil memperjuangkan pengangkatannya menjadi senapati di luar kemauan Lucius Cornelius Sulla maupun senatus, sehingga mengobarkan amarah Lucius Cornelius Sulla. Demi mengukuhkan kekuasaannya sendiri, Lucius Cornelius Sulla mengambil suatu langkah yang mengejutkan sekaligus melanggar hukum, yakni memimpin perbarisan legiun-legiunnya menuju Roma, membunuh semua orang yang menunjukkan keberpihakan pada Gaius Marius, menancapkan kepala korban-korbannya pada galah, lalu dipajang di Forum Romanum. Pada tahun berikutnya, yakni tahun 87 SM, Gaius Marius, yang tadinya lari menghindari aksi militer Lucius Cornelius Sulla, pulang ke Roma selagi Lucius Cornelius Sulla sibuk berperang di Yunani. Ia merebut kekuasaan bersama-sama dengan consul Lucius Cornelius Cinna, membunuh consul yang satunya lagi, yakni Gnaeus Octavius, dan menjadi consul untuk ketujuh kalinya. Dengan maksud membangkitkan amarah Lucius Cornelius Sulla, Gaius Marius dan Lucius Cornelius Cinna membantai orang-orang yang mendukung Lucius Cornelius Sulla sebagai bentuk balas dendam atas pembantaian para pendukung Gaius Marius.[47][48]

Gaius Marius wafat pada tahun 86 BC, karena usia yang sudah lanjut maupun akibat kondisi kesehatan yang memburuk, hanya beberapa bulan sesudah merebut kekuasaan. Lucius Cornelius Cinna berkuasa mutlak sampai wafat pada tahun 84 SM. Sepulangnya dari medan perang di bagian timur wilayah kekuasaan Romawi, Lucius Cornelius Sulla dengan leluasa mengukuhkan kekuasaannya. Pada tahun 83 SM, untuk kedua kalinya ia memimpin perbarisan menuju Roma dan meneror seisi kota. Ribuan patricius, eques, dan senator dieksekusi mati. Lucius Cornelius Sulla juga menjadi diktator sampai dua kali masa jabatan, dan menjadi sekali menjadi consul. Masa pemerintahannya merupakan pangkal dari krisis dan kemerosotan Republik Romawi.[47]

Rujukan dan keterangan

Bangsa Romawi adalah penduduk kota Roma. Kota Roma dimulai dari perkampungan kecil di bukit-bukit Palatine dan Aventine. Diceritakan bahwa Romulus adalah raja pertama Roma, dan pendirian Roma secara tradisional terjadi pada 753 SM. Menurut legenda, Romulus merupakan keturunan pahlawan Troya, Aineias, yang bermigrasi ke Latium (Italia) setelah kejatuhan Troya.

Kerajaan Romawi dipimpin oleh tujuh raja. Raja ketujuhnya dikudeta dan rakyat Romawi menggantikannya dengan sistem pemerintahan republik pada 510 SM, sehingga Kerajaan Romawi berubah menjadi Republik Romawi. Pada masa kerajaan, tiga raja terakhir Romawi berasal dari bangsa Etruria (Toscana modern). Pada waku itu, bangsa Etruria adalah orang-orang yang paling kuat dan berpengaruh. Bangsa Etruria juga mengajari bangsa Romawi mengembangkan tulisan, ilmu pasti, arsitektur, seni, dan agama.

Romawi memenangkan serangkaian perang melawan musuh maupun sekutunya sendiri di daerah Latium. Pada abad ketiga SM, Romawi sukses menaklukan sebagian besar semenanjung Italia. Taras (kelak Tartentum) meminta Pirrhos dari Epiros untuk membebaskan kota-kota Yunani di Italia yang dikuasai oleh Romawi. Pirrhos memenangkan beberapa pertempuran (281-275 SM), namun kehilangan banyak sekali pasukan. Karenanya, Pirrhos pernah berkata, "jika sekali lagi kita menang, kita tetap akan dihancurkan oleh Romawi". Hingga kini, ungkapan "Kejayaan Pirrhos" diucapkan untuk menyatakan suatu kemenangan dengan pengorbanan yang besar.

Pada akhirnya, Romawi mengalahkan Yunani pada Pertempuran Beneventum (275 SM), dan Pirrhos harus angkat kaki dari Italia.

Pada saat kampanye militer Pirrhos di Italia dan Sisilia, Kartaghe merupakan sekutu Romawi, karena Pirrhos juga menyerang kota Kartaghe di Sisilia. Tetapi, di kemudian hari Romawi tertarik untuk menguasai Spanyol dan kepulauan Sardinia dan Korsika, yang saat itu dikendalikan oleh Kartaghe. Maka Kartaghe pun berkonfrontasi melawan Romawi dan terjadilan Perang Punik Pertama (264-241 SM). Pada akhirnya Kartaghe terpaksa harus menyetujui perjanjian dari Romawi.

Yang paling terkenal adalah Perang Punik Kedua (218-201 SM) ketika Kartaghe dipimpin oleh jenderal Hannibal Barca. Dengan membawa pasukan besar dari Kartaghe, Hannibal menginvasi Italia dan mengalahkan banyak legion Romawi. Hannibal menggunakan strategi serangan kejutan dan memenangkan pertempuran di Sungai Trebia (218 SM) dan di Danau Trasimene (217 SM). Pada Pertempuran Cannae, Hannibal kembali menunjukkan kehebatannya. Sementara Hannibal memimpin pasukan utamanya untuk menahan pasukan Romawi, sisa pasukannya mengelilingi pasukan Romawi dan memotong jalan keluar mereka. Pasukan Romawi lalu dihantam baik dari belakang maupun dari kedua sayap. Semua konsul dan dua mantan konsul Romawi terbunuh dalam pertempuran itu.

Romawi mengalami kerugian yang hebat namun mereka tidak menyerah pada Hannibal. Romawi lalu menunjuk salah satu jenderalnya, Quintus Fabius Maximus Kunktator, sebagai diktator. Strategi Fabius cukup sederhana: ikuti dan ganggu pasukan Hannibal, namun jangan lakukan pertempuran terbuka. Ini adalah jenis perang gerilya. Pada saat yang sama, Romawi mengirim pasukan yang dipimpin oleh Scipio bersaudara untuk menyerang basis Kartaghe di Spanyol, namun mereka terbunuh pada 211 SM. Scipio lain (anak dari salah satu Scipio yang terbunuh, kelak dikenal sebagai Scipio Afrikanus) memimpin serangan susulan dan berhasil menguasai Karthage Nova (Karthage baru) di Spanyol. Dia juga berhasil mengalahkan dan mengusir Hasdrubal Barca (adik Hannibal) dari Spanyol. Hasdrubal berusaha bergabung dengan kakaknya di Italia, namun usahanya digagalkan. Hasdrubal dikalahkan pada Pertempuran Metaurus (207 SM). Dengan perginya Kartaghe dari Spanyol, Scipio mengalihkan perhatiannya ke pusat pemerintahan Kartagahe, yaitu di Afrika. Hannibal tak punya pilihan selain meninggalkan Italia dan kembali ke Kartaghe.

Sebuah pertempuran besar terjadi di Zama pada 202 SM. Hannibal dan Scipio belum pernah bertempur sebelumnya, namun Scipio telah mempelajari taktik dan strategi Hannibal. Kali ini, pasukan kavaleri Romawi jumlahnya lebih banyak, dan Scipio menggunakan metode pengepungan milik Hannibal. Scipio mengirimkan pasukan kavalerinya untuk menyerang pasukan Hannibal dari belakang. Pada akhirnya, Kartaghe lagi-lagi harus menyetujui perjanjian damai hasil bikinan Romawi.

Tetapi, perdamaian dengan Kartaghe tidak menghentikan Romawi untuk mencari daerah jajahan baru di luar Italia. Pada saat kampanye militer Kartaghe di Italia, Filipos V (Philip V) dari Makedonia ikut membantu Kartaghe. Akibatnya Romawi pun menyerang Makedonia. Filipos V dikalahkan pada pertempuran di Kinosefalai (197 SM). Sekutu Filipos, Antioklos dari Suriah dan Asia Minor, juga ikut diserang dan dikalahkan. Di kemudian hari, Romawi kembali berperang melawan Makedonia, kali ini Makedonia dipimpin oleh putra Filipos V, yaitu Perseus. Makedonia dikalahkan pada pertempuran di Pidna (168 SM) dan Makedonia pun menjadi daerah jajahan Romawi.

Sementara itu Kartaghe di Afrika dan Korintus di Yunani bangkit melawan Romawi. Namun Romawi mampu mengalahkan mereka. Pada 146 SM, Romawi membakar habis kota Kartaghe dan Korintus. Romawi juga menjual semua penduduk Korinthos sebagai budak dan mengambil semua benda seni mereka. Dengan demikian, Afrika dan Yunani pun menjadi daerah kekuasaan Romawi.

Pada abad pertama SM, terjadi pemberontakan sipil di kota Roma. Para jenderal Romawi (yang sekalgus merupakan gubernur) saling memperebutkan kekuasaan. Pada 49 SM, terjadi lagi perang sipil antara Julius Caesar dan Pompey Magus. Caesar berhasil mengalahkan Pompey dan kembali ke Roma untuk membuat beberapa perubahan pada sistem politik Romawi. Namun dia dibunuh pada 44 SM. Persekutuan sementara didirikan oleh Oktavianus (keponakan Caesar), dan Markus Antonius (Mark Antony), salah satu anak buah Caesar. Mereka berbagi kekuasaan, Oktavianus memerintah wilayah barat, sedangkan Antonius mengurusi wilayah timur, seperti Yunani dan Suriah. Suatu hari, Antonius jatuh cinta pada Cleopatra, ratu Mesir dan mantan kekasih Caesar. Antonius lalu menceraikan saudari Oktavanianus dan menikahi Cleopatra, akibatnya terjadi perang antara keduanya. Oktavianus berhasil mengalahkan Antonius pada pertempuran laut di Aktium pada 31 SM. Antonius dan Cleopatra lalu bunuh diri.

Sebagai satu-satunya pemegang kekuasaan, Oktavianus pun menjadi kaisar pertama Romawi pada 30 SM. Pada 27 SM, Oktavianus kembali ke Roma dan mulai melakukan reformasi pemerintahan. Namanya diganti menjadi Augustus Caesar. Romawi akhirnya kembali pulih setelah perang sipil yang panjang. Karya-karya Virgilus dan Ovidius bermunculan pada periode ini.

Selama perang sipil, Romawi memberikan kewarganegaraan Romawi pada para sekutunya, setelah Perang Sosial (91-89 SM). Pada masa Julius Caesar, kewarganegaraan boleh diberikan pada orang non-Italia, misalnya orang Galia, dan pada orang yang ingin tinggal di Kekaisaran Romawi. Salah satu warga Romawi yang terkenal adalah Saulus yang Yahudi, yang kelak dikenal sebagai Rasul Paulus.

Banyak di antara kaisar Romawi yang tak dilahirkan di kota Roma. Mungkin satu-satunya syarat untuk menjadi kaisar Romawi adalah harus warga Romawi. Kadanag, Senat memilih orang sebagai kaisar, namun di lain waktu, kandidat kaisar dicalonkan oleh pasukan Romawi di berbagai provinsi.

Augustus meninggalkan dinasti di Romawi setelah dia meninggal pada 41 M. Dia diteruskan oleh pemerintahan Tiberius (14-37 M), Caligula (37-41 M), Klaudius (41-54 M) dan Nero (54-68 M). Dinasti itu berakhir setelah kaisar Nero wafat pada 68 M. Dia bunuh diri setelah rakyatnya memberontak padanya. Setelah Nero, Romawi dipimpin oleh tiga kaisar dan masa pemerintahan mereka berlangsung pendek.

Pada 69 M, gubernur Romawi, Vespasianus (69-79 M), menjadi kaisar dan mendirikan dinasti yang baru. Di digantikan oleh putranya Titus (79-81 M) dan Domitianus (81-96 M).

Kekaisaran Romawi mencapai level dan stabilitas yang baru ketika dipimpin oleh kaisar Trajanus (98-117 M), Hadrianus (117-138 M) dan Antoninus Pius (138-161 M). Markus Aurelius (161-180 M) harus menjalani serangkaian pertempuran melawan kaum barbar di perbatasan Romawi. Dia digantikan oleh Kommodius, yang dibunuh pada 192 M. Pada abad ketiga M, terjadi gejolak dan pemberontakan di Romawi yang menyebabkan keterpurukan ekonomi.

Kaisar Diocletianus (284-305 M) dan koleganya Maximianus berusaha membangun kembali kekaisaran. Pengganti Diocletianus adalah Konstantius, yang merupakan ayah Constantinus Agung (312-337 M). Adalah Constantinus yang memindahkan ibukota ke Bizantium, yang namanya diganti menjadi Konstantinopel. Constantinus juga menjadikan Nasrani sebagai agama negara, walaupun dia sendiri baru dibaptis menjelang saat-saat kematiannya.

Pada abad keempat Masehi, perbatasan Romawi mendapat tekanan hebat dari kaum barbar, terutama oleh kaum Jerman. Kekaisaran Romawi lalu dibagi menjadi dua (394), dan masing-masing dipimpin oleh putra-putra kaisar Theodosius: Honorius memerintah di Romawi Barat, dan Arkadius berkuasa di Romawi Timur. Ada dua kelompok kaum Goth yang paling merusak Romawi, yaitu Visigoth dan Ostrogoth. Kaum Visigoth, dipimpin oleh Alarik, menyerang kota Roma pada 410 M. Karena hal ini, Honorius memanggil pulang legionnya yang sedang bertugas di Britania dan menyuruh mereka untuk mengabaikan daerah tersebut. Romawi Barat lalu diserang oleh Attila orang Hun, yang pasukannya berasal dari Asia Tengah. Attila dikalahkan pada Pertempuran Chalons di Perancis pada 451 M. Attila meninggal pada 453 M, namun setahun sebelumnya Atilla sempat menghancurkan daerah Aquileia di Italia Utara.

Adalah kaum Ostrogoth yang berhasil menaklukan Kekaisaran Romawi Barat. Pemimpin Ostrogoth, Odoaker, mengangkat dirinya sebagai Raja Italia. Dia juga mengasingkan kaisar terakhir Romawi, Romulus Augustus, ke Campagnia pada 76. Kaum Ostrogoth lainnya, dipimpin oleh Theodorik Agung, menginvasi Italia pada 489 M dan mendirikan kerajaan di Italia utara pada 493 M. Masa pemerintahan Theodorik berakhir pada 526 M, namun legendanya tetap abadi. Theodorik menjadi pahlawan dalam mitologi Norwegia, dan dia dikenal sebagai Dietrich dari Verona (atau Theodorik dari Bern).

Kekaisaran Romawi Kuno dulunya berpusat di kota Roma. Salah satu kekaisaran paling masyhur di dunia ini didirikan pada 27 SM, demikian dikatakan dalam Britannica.

Kekaisaran Romawi biasanya identik dengan kisah-kisah yang kejam, misalnya Kaisar Tiberius yang pandai memerintah tetapi seorang tirani yang jahat.

Kemudian ada juga Caligula, sosok yang memerintah dengan absolut dan mewarnai pemerintahannya dengan berbagai pembunuhan, pengeluaran yang tidak bijaksana, bahkan penghinaan pada Senat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, Kekaisaran Romawi kuno sebetulnya juga memiliki beberapa kaisar yang paling baik dan dikenal sebagai Five Good Emperors. Menariknya, meski berhati lembut, saat-saat pemerintahan mereka ini merupakan masa-masa paling agung bagi Kekaisaran Romawi. Siapakah mereka?

Zaman kekaisaran - pemerintahan para princeps

Pada tahun 27 SM, saat berumur 36 tahun, Octavianus adalah satu-satunya pemimpin bangsa Romawi. Pada tahun yang sama, ia menamakan dirinya Augustus (Yang Mulia). Peristiwa ini lazim dijadikan para sejarawan sebagai tonggak sejarah berdirinya Kekaisaran Romawi, kendati Roma sudah menjadi semacam "kekaisaran" semenjak tahun 146 SM, ketika Kartago dihancurleburkan oleh Scipio Aemilianus, dan Yunani ditaklukkan oleh Lucius Mummius. Secara resmi, pemerintahannya masih berbentuk republik, tetapi Augustus berkuasa mutlak.[59][60] Kebijakan Augustus untuk memperbaharui pemerintahan menghasilkan kurun waktu sejahtera sepanjang kira-kira dua abad yang disebut Pax Romana oleh orang-orang Romawi.

Wangsa Iulia-Claudia (bahasa Latin: Domus Iulio-Claudia) dibentuk oleh Augustus. Kaisar-kaisar dari wangsa ini adalah Augustus, Tiberius, Caligula, Claudius, dan Nero. Nama wangsa ini adalah gabungan dari gens Iulia, nama keluarga Augustus, dan gens Claudia, nama keluarga Tiberius. Di satu pihak, kaisar-kaisar wangsa inilah yang mula-mula meruntuhkan nilai-nilai luhur Republik Romawi, tetapi di lain pihak, merekalah jugalah yang mengangkat derajat Roma menjadi sebuah negara adidaya di pentas dunia.[61] Dalam budaya populer, Caligula dan Nero memang lazim dikenang sebagai kaisar-kaisar yang bobrok, tetapi Augustus dan Claudius dikenang sebagai kaisar-kaisar yang berjaya di bidang politik dan kemiliteran. Wangsa ini melembagakan tradisi kekaisaran di Roma,[62] dan menghalang-halangi segala macam usaha untuk memulihkan pemerintahan republik.[63]

Augustus memonopoli seluruh kewenangan pemerintah republik dengan gelar resminya, princeps (ketua). Ia memegang kewenangan consul (kepala pemerintahan), princeps senatus (ketua majelis sesepuh), aedilis (pejabat urusan rumah ibadat dan hari besar keagamaan), censor (pejabat urusan cacah jiwa dan pemantauan akhlak masyarakat), dan tribunus (pemuka suku), termasuk hak kekeramatan tribunus.[64] Monopoli kewenangan inilah yang menjadi asas kewenangan seorang kaisar. Augustus juga menggelari dirinya Imperator Gaius Iulius Caesar Divi Filius, yang berarti "Sang Pemberi Titah, Gaius Iulius Caesar, Putra Dewata". Dengan gelar ini, Augustus tidak saja memamerkan hubungan kekerabatannya dengan mendiang Gaius Iulius Caesar yang telah dimasyhurkan sebagai dewata, tetapi juga menonjolkan suatu keterkaitan permanen dengan tradisi kejayaan Romawi melalui pemakaian istilah imperator.

Augustus juga membatasi pengaruh golongan senatus di kancah politik dengan memberi ruang yang lebih besar bagi kaum eques. Para senator juga kehilangan hak untuk mengatur provinsi-provinsi tertentu, semisal Mesir, karena wali negerinya ditunjuk langsung oleh kaisar. Keputusannya membentuk laskar Praetoriani dan memperbaharui tatanan kemiliteran menghasilkan sebuah angkatan bersenjata berkekuatan tetap 28 legiun, sehingga segenap angkatan bersenjata Romawi dapat ia kendalikan seorang diri.[65] Jika dibandingkan dengan zaman rezim Triumviratus II, masa pemerintahan Augustus selaku princeps sangat tenteram. Keadaan aman dan makmur, yang dijamin penguasaan Roma atas Mesir, sebuah provinsi agraris,[66] mendorong rakyat dan kaum ningrat Roma untuk mendukung Augustus memperbesar kewenangannya dalam urusan politik.[67] Dalam kegiatan militer, Augustus tidak ikut serta dalam pertempuran-pertempuran. Para senapatilah yang bertanggung jawab memimpin bala tentara di medan tempur, sehingga muncul tokoh-tokoh perwira yang disegani masyarakat maupun legiun-legiun, misalnya Marcus Vipsanius Agrippa, Nero Claudius Drusus, dan Germanicus Iulius Caesar. Augustus berniat menjadikan seluruh dunia, yang sudah dikenal orang kala itu, sebagai bagian dari wilayah Kekaisaran Romawi, dan pada masa pemerintahannya, Roma menaklukkan Cantabria, Aquitania, Raetia, Dalmatia, Illyria, dan Pannonia.[68]

Pada masa pemerintahan Augustus, kesusastraan Romawi terus berkembang, sehingga zaman ini disebut pula Abad Keemasan kesusastraan Latin. Para penyair seperti Vergilius, Horatius, Ovidius, dan Rufus menghasilkan karya-karya sastra yang bernas, dan bersahabat karib dengan Augustus. Bersama Gaius Cilnius Maecenas , Augustus mendorong penggubahan syair-syair kepahlawanan, semisal syair wiracarita Aeneis gubahan Vergilius, dan penyusunan karya-karya tulis sejarah, semisal Ab Urbe Condita Libri karya Livius. Karya-karya tulis dari Abad Keemasan kesusastraan ini bertahan sepanjang zaman Kekaisaran Romawi, dan dihargai sebagai karya-karya klasik. Augustus juga meneruskan usaha peralihan ke penanggalan baru yang dirintis oleh mendiang Gaius Iulius Caesar, dan salah satu bulan dalam penanggalan baru ini ia beri nama Augustus (bulan Agustus).[69] Augustus menghantarkan Roma memasuki kurun waktu damai dan sejahtera, yang dikenal dengan sebutan Pax Augusta atau Pax Romana. Augustus wafat pada tahun 14 M, tetapi kejayaan kekaisaran tetap bertahan sepeninggalnya.

Wangsa Iulia-Claudia tetap menguasai tampuk pemerintahan Roma sepeninggal Augustus, dan terus berkuasa sampai dengan wafatnya Nero pada tahun 68 M.[70] Semua anak emas Augustus yang ia gadang-gadangkan menjadi penggantinya sudah lebih dahulu wafat pada masa tua Augustus, yakni kemenakannya, Marcellus, yang wafat pada tahun 23 SM, perwira sahabatnya, Agrippa, yang wafat pada tahun 12 SM, dan cucunya, Gaius Caesar, yang wafat pada tahun 4 M. Atas bujukan istrinya, Livia Drusilla, Augustus menetapkan anak tirinya, Tiberius, anak Livia Dusilla dari suami terdahulu, menjadi ahli warisnya.[71]

Senatus menyetujui keputusan Augustus, dan melimpahi Tiberius dengan gelar-gelar dan kehormatan-kehormatan yang pernah mereka berikan kepada Augustus, yakni gelar princeps dan pater patriae (Bapa Tanah Air), serta corona civica (mahkota warga berjasa). Kendati demikian, Tiberius bukanlah seorang pemerhati urusan politik. Sesudah bermufakat dengan senatus, ia berlibur panjang ke pulau Capri pada tahun 26 M,[72] dan membebankan urusan pemerintahan kota Roma ke pundak para Praefectus Praetorio (hulubalang Praetoriani), yakni Seianus (sampai tahun 31 M) dan Macro (dari tahun 31 sampai tahun 37 M). Tiberius dipandang sebagai seorang durjana pemurung, dan dicurigai sebagai dalang pembunuhan kerabatnya yang dicintai rakyat, Senapati Germanicus pada tahun 19 M,[73] serta anak kandungnya sendiri, Drusus Iulius Caesar pada tahun 23 M.[73]

Tiberius wafat (atau tewas dibunuh)[73] pada tahun 37 M. Ahli waris laki-laki wangsa Iulia-Claudia kala itu adalah Claudius (kemenakan Tiberius), Tiberius Gemellus (cucu Tiberius), dan Caligula (anak dari kemenakan Tiberius). Karena Tiberius Gemellus masih kanak-kanak, Caligula pun terpilih menjadi kepala negara yang baru. Ia adalah penguasa yang dicintai rakyat selama paruh pertama masa pemerintahannya, tetapi berubah menjadi tiran yang kasar dan sinting saat menguasai pemerintahan.[74][75] Menurut sejarawan Suetonius, Caligula melakukan hubungan sedarah dengan saudari-saudari kandungnya, membunuh sejumlah orang hanya untuk bersenang-senang, dan mengangkat seekor kuda menjadi consul.[76] Laskar Praetoriani membunuh Caligula empat tahun sesudah Tiberius wafat,[77] dan dengan dukungan para senator, mereka mengelu-elukan paman Caligula, Claudius, sebagai kaisar yang baru.[78] Claudius bukanlah penguasa yang sewenang-wenang seperti Tiberius dan Caligula. Ia menaklukkan Likia dan Trake. Tindakannya yang paling penting adalah merintis usaha penaklukan Britania.[79] Claudius tewas diracun istrinya, Agrippina Muda pada tahun 54 M.[80] Ahli waris Claudius adalah anak tirinya, Nero, putra Agrippina Muda dari suami terdahulu, karena anak kandung Claudius, Britannicus, belum cukup umur saat ditinggal mati ayahnya.

Nero memerintahkan Senapati Suetonius Paulinus untuk menginvasi daerah yang kini menjadi wilayah Wales. Invasi bangsa Romawi disambut bangsa pribumi dengan perlawanan gigih. Orang Kelt yang mendiami daerah itu adalah suku bangsa yang mandiri, tangguh, berani mengusir pemungut cukai Romawi, dan nekat memerangi Suetonius Paulinus saat menerobos dari timur ke barat. Ia harus berjuang dalam waktu yang lama sebelum berhasil mencapai daerah pesisir barat laut, dan pada tahun 60 M, ia akhirnya berlayar menyeberangi Selat Menai menuju pulau keramat Mona (sekarang Anglesey), benteng terakhir kaum druid.[81][82] Bala tentara Romawi menyerbu Pulau Mona, membantai kaum druid, penduduk lelaki, perempuan, maupun kanak-kanak,[83] menghancurkan tempat-tempat suci dan hutan-hutan larangan, serta membuang banyak tugu batu keramat ke laut. Manakala Paulinus dan bala tentaranya membantai kaum Druid di Mona, suku-suku yang berdiam di daerah yang sekarang disebut Anglia Timur bangkit memberontak di bawah pimpinan Boadicca, ratu orang Ikeni.[84] Para pemberontak menjarah dan membumihanguskan Camulodunum (Colchester), Londinium (London), dan Verulamium (St Albans) sebelum akhirnya diberantas Paulinus.[85] Sama seperti Kleopatra, Ratu Boadicca memilih bunuh diri daripada dipermalukan bangsa Romawi dengan cara diarak dalam pawai kemenangan di Roma.[86] Tanggung jawab Nero atas pemberontakan ini masih dapat diperdebatkan, tetapi tetap saja berdampak (positif maupun negatif) pada kewibawaan rezimnya.

Nero sudah umum dikenal sebagai penganiaya utama umat Kristen, dan dikenang karena peristiwa kebakaran besar di kota Roma, yang menurut desas-desus direkayasa sendiri oleh Nero.[87][88] Nero membunuh ibunya pada tahun 59 M, dan membunuh istrinya, Claudia Octavia, pada tahun 62 M. Kaisar yang tidak pernah tetap pendiriannya ini membiarkan para penasihatnya menjalankan pemerintahan, sementara ia sibuk menuruti hawa nafsu, berfoya-foya, dan bertingkah gila-gilaan. Nero kawin sampai tiga kali, dan bermain serong dengan banyak laki-laki maupun perempuan, bahkan konon dengan ibu kandungnya. Aksi makar pada tahun 65 M di bawah pimpinan Calpurnius Piso tidak berhasil menjatuhkan Nero, tetapi pada tahun M, angkatan bersenjata Romawi di bawah pimpinan Julius Vindex di Galia dan Servius Sulpicius Galba di Hispania melakukan pemberontakan. Nero, yang ditinggalkan laskar Praetoriani dan dipidana mati oleh senatus, akhirnya bunuh diri.[89]

Wangsa Flavia adalah wangsa kedua yang menguasai tampuk pemerintahan Roma.[90] Pada tahun 68 M, tahun kemangkatan Nero, belum ada peluang untuk menegakkan kembali pemerintahan Republik Romawi, sehingga seorang kaisar baru harus dipilih untuk mengepalai pemerintahan. Sesudah hingar-bingar Tahun Empat Kaisar berlalu, Titus Flavius Vespasianus mengambil alih tampuk pemerintahan dan membentuk wangsa penguasa yang baru. Pada zaman wangsa Flavia, Roma meneruskan usaha perluasan wilayahnya, dan keamanan negara dapat terus dipertahankan.[91][92]

Aksi militer terpenting pada zaman wangsa Flavia, adalah aksi pengepungan dan penghancuran kota Yerusalem pada tahun 70 oleh Titus Flavius Vespasianus. Penghancuran kota Yerusalem merupakan puncak dari aksi militer Romawi di Yudea menyusul pemberontakan bangsa Yahudi pada tahun 66. Sesudah bangunan Bait Allah kedua dihancurleburkan, bala tentara Titus mengelu-elukannya sebagai imperator untuk menghargai keberhasilan memimpin aksi militer di Yudea. Yerusalem dijarah rayah, dan sebagian besar warganya terbunuh atau mengungsi. Menurut sejarawan Titus Flavius Iosephus, ada 1.100.000 korban tewas akibat aksi pengepungan, sebagian besar di antaranya adalah orang Yahudi.[93] 97.000 orang ditanggap dan dijadikan budak belian, termasuk Simon bar Giora dan Yohanes asal Giskala. Banyak orang mengungsi ke daerah-daerah sekitar Laut Tengah. Titus kabarnya menolak anugerah mahkota kemenangan, dengan alasan "tidak ada hebat-hebatnya menghancurkan bangsa yang sudah ditinggal Tuhannya sendiri".

Vespasianus berpangkat senapati pada masa pemerintahan Claudius dan Nero. Bersama putranya, Titus, ia memimpin bala tentara Romawi dalam Perang Yahudi-Romawi I. Pada Tahun Empat Kaisar yang penuh huru-hara, yakni tahun 69 M, empat orang kaisar silih berganti menduduki singgasana, yakni Galba, Otho, Vitellius, dan akhirnya Vespasianus, yang menghancurkan bala tentara Vitellius dan menjadi kaisar.[94] Ia membangun ulang berbagai bangunan yang tidak kunjung rampung dikerjakan, misalnya sebuah patung dewa Apollo dan kuil Divus Claudius (Dewata Claudius), yang dibangun atas prakarsa Nero. Bangunan-bangunan yang rusak dimakan api dalam peristiwa kebakaran besar di kota Roma dibangun kembali, dan Bukit Capitolium direvitalisasi. Vespasianus juga memprakarsai pembangunan Gelanggang Pertunjukan Flavianus (bahasa Latin: Amphitheatrum Flavium), yang lebih lazim dikenal dengan sebutan "Koloseum" (gedung arca raksasa).[95] Sejarawan Flavius Iosephus dan Plinius Tua berkarya pada masa pemerintahan Vespasianus. Vespasianus adalah penyandang dana Flavius Iosephus, dan Plinius Tua mendedikasikan karya tulisnya yang berjudul Naturalis Historia kepada Titus, putra Vespasianus. Vespasianus mengerahkan berlegiun-legiun prajurit Romawi untuk mempertahankan tapal batas wilayah timur di Kapadokia, memperpanjang masa pendudukan Romawi di Britania (sekarang Inggris, Wales, dan kawasan selatan Skotlandia) dan memperbaharuai sistem perpajakan. Ia mangkat pada tahun 79 M.

Masa pemerintahan Titus tidak berlangsung lama. Ia menjadi kaisar dari tahun 79 M sampai tahun 81 M. Ia menuntaskan pembangunan Amphitheatrum Flavium, yang didanai dengan hasil jarahan dari Perang Yahudi-Romawi I, dan menggelar berbagai pertunjukan ketangkasan selama seratus hari untuk merayakan kemenangan Romawi atas bangsa Yahudi. Pertunjukan-pertunjukan ini meliputi laga gladiator, lomba balap kereta, dan perang-perangan laut yang sensasional di dalam kolam buatan di Koloseum.[96][97] Titus wafat setelah menderita demam pada tahun 81 M, dan digantikan oleh adiknya, Domitianus. Domitianus memerintah secara totaliter,[98] menganggap dirinya Augustus yang baru, bahkan berusaha agar dirinya disembah-sembah laksana dewa. Domitianus memerintah selama 15 tahun, dan masa pemerintahannya ditandai oleh usaha-usahanya menyamakan diri dengan dewa-dewa. Ia mendirikan paling sedikit dua buah kuil tempat orang menyembah Iuppiter, dewa tertinggi menurut kepercayaan bangsa Romawi. Ia juga senang disebut "Dominus et Deus" (tuan dan dewa).[99]

Dinasti dan Periode Kekaisaran

Sepanjang sejarah Romawi, terdapat beberapa dinasti utama yang memerintah Kekaisaran Romawi. Setiap dinasti memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan Kekaisaran.

Dinasti ini didirikan oleh Augustus dan diikuti oleh penerusnya yang berasal dari garis keluarga Julius Caesar dan Augustus. Kaisar terkenal dari dinasti ini termasuk Tiberius, Caligula, Claudius, dan Nero. Pada masa dinasti ini, Kekaisaran Romawi berkembang secara ekonomi dan militer, tetapi juga mengalami skandal politik yang melemahkan citra kaisar.

Setelah jatuhnya Dinasti Julio-Claudian, Vespasianus mendirikan Dinasti Flavia yang berhasil memulihkan kestabilan di Romawi. Keluarganya memerintah dengan gaya pemerintahan yang lebih militeristis. Kaisar-kaisar seperti Vespasianus dan putranya Titus berhasil menundukkan pemberontakan Yahudi dan membangun kembali Roma setelah kebakaran besar.

Dinasti ini dikenal dengan kaisar-kaisarnya yang adil dan bijaksana, termasuk Trajanus, Hadrianus, dan Marcus Aurelius. Masa pemerintahan mereka disebut sebagai puncak kejayaan Kekaisaran Romawi, ditandai dengan ekspansi besar-besaran dan reformasi hukum serta administrasi yang signifikan.

Dinasti ini dimulai dengan Septimius Severus, yang menguatkan kekuasaan militer dalam pemerintahan Romawi. Namun, setelah pemerintahan singkat Caracalla dan Severus Alexander, dinasti ini runtuh, menandai awal krisis abad ketiga yang melanda Kekaisaran Romawi.